Pages

Tuesday, November 12, 2013

Merinding Sepanjang Hari

Setelah sekian lama salah seorang teman merekomendasikan blognya Pandji Pragiwaksono untuk dibaca, akhirnya hari ini saya sempatkan membuka dan membaca blog tersebut. Mungkin sebagian orang sudah tau siapa itu Pandji lewat aksinya di Stand Up Comedy. Pandji sering membawa materi yang berbau politik dalam lawakannya di Stand Up Comedy. Yuppps, dia merupakan salah satu dari warga Indonesia yang memimpikan Indonesia menjadi lebih baik kedepannya. Dari beberapa artikel dalam blognya, saya pun terpaku pada satu artikel yang bercerita tentang Bapak Anies Baswedan (AB). Dalam tulisannya, Pandji secara gamblang mendukung AB untuk mencalonkan diri sebagai calon presiden. Saya pun dibuat merinding atas penjelasan-penjelasannya mengapa Pak AB layak untuk didukung. Kontribusinya di bidang pendidikan tidak diragukan lagi. Namun, apakah dengan hal tersebut beliau mampu untuk memimpin bangsa ini? Selama ini saya masih punya asumsi pribadi bahwa orang-orang yang bersih dan pintar dibidang akademis sebaiknya jangan terjun di dunia politik. Karena pada akhirnya mereka akan ikut masuk ke dalam sistem politik yang nantinya akan membuat mereka melupakan idealisme mereka. Tapi sekali lagi itu pendapat atau asumsi pribadi saya yang belum dilandasi riset. Saya hanya melihat ada beberapa orang yang akhirnya terjebak ke dalam suatu sistem yang masih perlu dibenahi. Atau mungkin ini merupakan asumsi pesimis saya yang beranggapan bahwa politik dan demokrasi di Indonesia tidak akan pernah membaik walaupun banyak orang-orang bersih dan kompeten yang belum masuk wilayah perpolitikan Indonesia. Entahlah, tapi dari lubuk hati yang paling dalam, saya selalu berdoa untuk Indonesia yang lebih baik. Semoga someday it would happen. aamiin...

Kembali lagi ke Pandji. Dalam tulisannya dia berhasil menjelaskan siapa sebenarnya sosok Anies Baswedan. Sosok yang ternyata tidak hanya mampu mengajak sebanyak 40.200 muda-mudi Indonesia untuk menjadi Pengajar Muda yang ditempatkan di pelosok-pelosok negeri ini, namun menurut Pandji, Anies Baswedan adalah seorang yang dengan track record yang bagus dan bersih. Saya pribadi memang hanya mengenal sosok Anies Baswedan sebagai pelopor terbentuknya Gerakan Indonesia Mengajar. And that is the thing that makes me admire on him so much. His idea is so brilliant. Besides him, I also admire on Jokowi. Semua pasti tau kenapa. Menurut saya, beliau benar-benar ingin menjadi Gubernur DKI Jakarta karena ingin memperbaiki Jakarta. Apa saja yang sudah dilakukan? Saya tidak perlu menyebutkannya satu persatu. Silahkan anda google pasti banyak berita tentang beliau dan wakilnya dalam memperbaiki Jakarta. 

Well, cerita tentang orang-orang calon pemimpin negeri ini memang membuat saya merinding. Selain karena kontribusi mereka dalam memperbaiki Indonesia, ternyata masih banyak orang-orang yang mendambakan Indonesia mempunyai pemimpin yang bersih dan bisa dipercaya rakyat. Mari kita gunakan hak pilih kita dalam Pemilu 2014 untuk benar-benar memilih yang terbaik. Semoga yang terbaik tersebut dapat lolos mencaji calon presiden dari partai yang menaungi mereka. Sekian, adios!!! 


-gayuh-
12112013

Thursday, November 7, 2013

Masih di Tana Toraja

Setelah kemarin melaksanakan tugas di Toraja Utara dengan medan yang sangat sulit tapi seru, akhirnya hari ini tanggal 2 Juni 2013, saya dan rekan-rekan satu tim harus kembali ke Makassar. Namun sebelum kembali kesana, kami menyempatkan untuk mengunjungi dua situs kebudayaan yang terdapat di Tana Toraja. Tempat pertama adalah Londa yang merupakan salah satu tujuan utama wisatawan mengunjungi Tana Toraja. Bahkan beberapa orang mengatakan bahwa "anda belum mengenal Toraja sampai anda mengunjungi Londa". Londa adalah sebuah tebing yang digunakan sebagai makam bagi suku Toraja. Suku ini terkenal memiliki budaya yang unik dalam menghormati dan memakamkan kerabat mereka yang meninggal. Mayat tersebut akan dimasukkan ke dalam peti mati dan kemudian akan disimpan di dalam gua batu atau tebing batu setelah sebelumnya telah melewati upacara pemakaman adat yang mahal (Rambu Solo).


Londa berada di Desa Sandan Uai, Kecamatan Sanggalangi. Lokasi ini dengan mudah dapat dicapai dengan menggunakan bemo, ojek, mobil atau motor sewaan. Untuk sampai ke tebing tempat pemakaman tersebut, kami harus menuruni anak tangga yang lumayan banyak. Sesampainya di bawah tebing, suasana mistis sudah mulai terasa karena beberapa peti mati (erong) yang diletakkan di atas tebing dan beberapa tengkorak pun sudah bisa terlihat. Di sisi lain tebing terdapat beberapa patung kayu (tau-tau) replika mayat yang disimpan di dalam tebing. Berdasarkan cerita dari guide kami, hanya orang-orang yang mempunyai kasta tinggi yang bisa dibuatkan patung replika tersebut dan dipajang disebuat etalase tanpa kaca di atas tebing. Patung-patung tersebut dipajang di dalam sebuah kotak yang terlihat seperti jendela sebuah rumah. Sehingga dari kejauhan pengunjung bisa melihat patung-patung ini. 


Setelah puas melihat sekeliling, kami pun sudah ingin masuk ke dalam gua tebing ini. Kami masuk didampingi oleh seorang guide yang membawa lampu petromax karena kondisi gua yang sudah pasti gelap. Keuntungan lain dengan menyewa guide tersebut adalah kami mendapat penjelasan tentang budaya dan asal muasal tempat ini. Waloupun aura mistis tidak bisa lepas dari tempat ini, tapi kami tidak merasa takut untuk berfoto diantara peti mati dan tengkorak yang terletak di sela-sela tebing. Beberapa peti mati ditaruh di bagian atas gua dengan ditopang oleh kayu. Peti mati yang disimpan di bagian atas tebing adalah peti mati kaum bangsawan atau orang yang mempunyai kasta tinggi di Toraja. Masyarakat Toraja percaya bahwa semakin tinggi letak peti mati tersebut, maka semakin tinggi derajat jenazah di nirwana. Berdasarkan cerita dari guide kami, di Londa pun ada kisah Romeo dan Juliet. Konon katanya dua sejoli ini tidak direstui oleh keluarga masing-masing. Kemudian akhirnya mereka memutuskan untuk bunuh diri bersama-sama. Dua tengkorak mereka pun disandingkan bersama di salah satu sisi gua ini. 


Setelah puas melihat-lihat isi dari gua, akhirnya kami memutuskan untuk keluar dari gua tebing ini dan selanjutnya menuju ke Kete Kesu yang merupakan objek wisata kedua yang wajib dikunjungi jika berada di Tana Toraja. Kete Kesu merupakan sebuah desa adat yang terdapat banyak rumah adat khas Toraja yaitu Tongkonan. Di tempat ini biasa diadakan upacara pemakaman adat yang dirayakan dengan meriah (Rambu Solo), upacara memasuki rumah adat baru (Rambu Tuka) dan beberapa upacara adat lainnya. Sayang sekali kami tidak beruntung menyaksikan secara langsung uparaca tersebut. Biasanya upacara Rambu Solo diadakan sekitar bulan Juni-Desember yang berlangsung dengan sangat meriah layaknya pesta dan tidak terlihat adanya kesedihan yang menyelimuti keluarga yang ditinggalkan. Semoga suatu saat bisa kembali kesini dan melihat secara langsung upacara adat ini.


Selain rumah adat Tongkonan, di sini juga bisa dijumpai beberapa kerbau yang dipelihara oleh penduduk sekitar. Kerbau (Bos bubalus) memiliki arti yang penting bagi masyarakat Toraja. Kerbau atau dalam bahasa setempat tedong atau karembau tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat (Nooy-Palm, 2003). Selain sebagai hewan untuk memenuhi kebutuhan hidup sosial, ritual maupun kepercayaan tradisional, kerbau juga menjadi alat takaran status sosial, serta transaksi. Dari sisi sosial, kerbau merupakan harta yang bernilai tinggi bagi pemiliknya (Issudarsono 1976). Oleh karena itu setiap upacara Rambu Solo akan ada kerbau yang disembelih yang dipercaya akan menjaga orang yang meninggal tersebut menuju ke nirwana. Semakin banyak kerbau yang disembelih maka semakin banyak yang akan menjaga arwah tersebut. Tentunya tidak sembarang kerbau yang disembelih. Masyarakat Toraja mempunyai kriteria tersendiri untuk menilai mutu dan kualitas kerbau.

Setelah berkeliling melihat-lihat rumah adat Tongkonan dan beberapa kerbau, kami pun diajak ke sisi belakang dari rumah adat ini. Ternyata di Kete Kesu pun terdapat tebing untuk menyimpan mayat-mayat masyarakat Toraja. Kami harus berjalan sekitar lima menit untuk sampai ke tebing tersebut dan kami harus menaiki beberapa anak tangga untuk sampai ke atas. Beda nya dari Londa, kami tidak bisa masuk ke dalam tebing untuk melihat peti mati di dalam. Kami hanya melihatnya dari sisi luar tebing. Banyak peti mati yang digantung di atas tebing dan banyak pula tengkorak yang berserakan di luar tebing. Di sini juga terdapat rumah batu yang dilengkapi dengan patung kayu di depan rumah tersebut. Kemungkinan pemiliknya adalah bangsawan atau orang yang memiliki derajat tinggi di Toraja. Sesampainya kami di atas, tak lupa kami mengabadikannya dengan berfoto.


Walaupun kedua objek wisata yang kami kunjungi mengandung nilai-nilai mistis, tapi saya pribadi selalu excited jika mengunjungi daerah yang masih sarat akan budaya dan adat daerah tersebut. Beruntung sekali kami ini kami bisa mampir ke objek wisata yang benar-benar menggambarkan budaya dan tradisi masyarakat Toraja. Walaupun waktu kami hanya sebentar, but it was fun. Selanjutnya kami harus kembali ke Makassar dan melanjutkan tugas yang belum selesai. Dibutuhkan waktu sekitar 8 jam untuk sampai di Makassar. Sekian tentang Toraja dan sampai jumpa di cerita selanjutnya.


-Gayuh-
02062013